JEJAK BHAIRAWA TANTRA DI LERENG MERAPI
|
Bagi sebagian orang yang tinggal di lereng Merapi, gunung Merapi dipercaya sebagai pusat kerajaan lelembut (makhluk halus). Ada tempat-tempat tertentu yang dianggap angker. Di tempat tersebut, orang harus menghormati peraturan dan pantangan khusus. Para lelembut tadi diyakini bertugas menjaga kondisi alam gunung Merapi. Mereka melindungi kesuburan tanah, memelihara kehijauan tanaman, bahkan memberi tahu kapan gunung itu akan meletus.
Karena dipandang telah berjasa besar, masyarakat di sekitar Merapi melakukan beberapa ritual untuk menghormati para lelembut
itu. Misalnya saja upacara sedekah gunung yang diadakan setiap tahun
baru Jawa 1 Suro di Selo. Dalam upacara ini, seekor kerbau disembelih.
Disertai sesaji, kepala kerbau kemudian ditanam di puncak Merapi atau di
Pasar Bubrah –daerah bebatuan dan pasir di bawah puncak Merapi yang
dipercaya sebagai pasarnya para lelembut–.[1] Pengorbanan kerbau ini sebenarnya merupakan bentuk yang telah diperhalus dari pengorbanan manusia pada zaman kuno.
Misal lain adalah ritual tolak bala dalam bentuk tarian telanjang di Candi Lumbung. Ritual ini dilakukan pada tengah malam. Seorang
wanita tua menari hingga ekstase (kesurupan). Dalam keadaan demikian,
dia mengaku sebagai Mbah Petruk yang datang memberikan wejangan. Tidak
lama setelah itu, Mbah Petruk pergi dan wanita tadi kembali menjadi
sadar. Beberapa orang laki-laki kemudian berjalan kaki menuju Candi
Lumbung. Di tempat ini, mereka melepas pakaian. Tak
ada sehelai kain pun yang boleh melekat di badan. Mereka harus
telanjang bulat. Seorang yang telah lanjut usia memimpin ritual ini
dengan membawa obor dan dupa wangi. Di belakangnya diikuti oleh kelompok
orang tua, lalu mereka yang muda. Mereka mengelilingi candi sebelas
kali sambil membaca rapal pring-pring petung. Rapal ini bernada sangat
membangkitkan berahi. Dipercaya, apabila diucapkan bersama-sama dengan
telanjang, rapal itu bisa mengusir kekuatan jahat apa pun. Pada zaman
dahulu, rapal dan ritual telanjang tersebut biasa dilakukan penduduk
desa bila mereka sedang diterjang pageblug (bencana penyakit) dan merasa diancam oleh era-eruning jaman (huru-hara zaman).[2]
Bhairawa Tantra dan Peradaban Jawa Kuno
Ritual
tersebut mengingatkan kita pada kepercayaan kuno yang bernama Bhairawa
Tantra. Ia adalah sekte rahasia dari sinkretisme antara agama Budha
aliran Mahayana dengan agama Hindu aliran Çiwa. Sekte ini muncul kurang
lebih pada abad ke-6 M di Benggala sebelah timur. Dari sini kemudian
tersebar ke utara melalui Tibet, Mongolia, masuk ke Cina dan Jepang.
Sementara itu cabang yang lain tersebar ke arah timur memasuki daerah
Asia Tenggara, termasuk Indonesia.[3]
Pengikut sekte Bhairawa Tantra berusaha mencapai kebebasan dan pencerahan (moksa) dengan cara yang sesingkat-singkatnya. Ciri-ciri mereka adalah anti asketisme dan anti berpikir.[4]
Menurut mereka, pencerahan bisa diraih melalui sebuah kejenuhan total
terhadap kenikmatan duniawi. Tujuan secara penuh memanjakan kenikmatan
hidup dengan tanpa mengenal kekangan moral ini puncaknya adalah untuk
melenyapkan segala hasrat terhadap semua kenikmatan itu. Dengan memenuhi
segala hasratnya, seorang pengikut sekte ini akhirnya tidak merasakan
apa pun selain rasa jijik terhadap kenikmatan tersebut.[5]
Oleh
karena itu, pengikut sekte ini justru melakukan ritual-ritual tertentu
yang bagi selain mereka dianggap sebagai larangan. Hal ini sebagai usaha
agar manusia bisa secepatnya meniadakan dirinya sendiri dan
mempersatukan dirinya dengan Dewanya yang tertinggi. Ritual mereka
bersifat rahasia dan sangat mengerikan, yaitu menjalankan Pancamakarapuja atau malima (lima Ma) dengan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya. Lima Ma tersebut adalah matsya (ikan), mamsa (daging), madya (minuman), maudra (tarian hingga mencapai ekstase), dan maithuna (upacara seksual).[6] Praktek malima
adalah menyembelih perawan sebagai persembahan kepada dewa, kemudian
meminum darahnya bersama, tertawa-tawa, dan menari-nari dengan diiringi
oleh bunyi-bunyian dari tulang-tulang manusia yang dipukul-pukul hingga
menimbulkan suara gaduh. Ritual dilanjutkan dengan makan dan minum
bersama. Setelah itu dalam acara yang dilakukan di lapangan yang disebut
ksetra, para peserta ritual melakukan persetubuhan massal, yang kemudian diikuti dengan semedi.[7]
Jika kita cermati, ritual yang dilakukan di lereng Merapi dalam contoh di depan menunjukkan pengaruh malima ajaran Bhairawa Tantra. Penyembelihan kerbau adalah bentuk yang diperhalus dari mamsa. Tarian hingga ekstase adalah wujud dari maudra. Ritual telanjang dengan membaca rapal yang sangat membangkitkan berahi adalah bentuk yang diperhalus dari maithuna.
Bhairawa
Tantra merupakan bagian dari peradaban Jawa kuno. Banyak raja mengikuti
sekte ini karena ritual-ritual dan simbol-simbol magisnya bisa
digunakan untuk menganugerahi atau mengancam para bawahan. Ritual-ritual
Bhairawa Tantra juga menetapkan ikatan mistis dan spiritual antara raja
dan kawulanya sehingga memungkinkan raja untuk mendapatkan kekuasaan
yang lebih besar.[8]
Salah
seorang raja Jawa yang menjadi pengikut Bhairawa Tantra adalah
Kertanegara, raja Singasari. Pada masa akhir Singasari, sekte ini
mengalami kemajuan. Ketika Singasari diserbu oleh pasukan Jayakatwang
dari Kadiri, Kertanegara bersama patihnya, Mahāwrddhamantri, para
pendeta terkemuka, dan pembesar lainnya sedang makan minum sampai mabuk.
Mereka sedang melaksanakan ritual Tantra.[9]
Selain
di Jawa, sekte Bhairawa Tantra juga menyebar di Sumatra serta
berangsur-angsur bersatu dengan tenung dan kepercayaan pada kanibalisme.
Adityawarman, seorang raja dari kerajaan Melayu, menerima pelantikannya
di tengah-tengah lapangan bangkai, sambil duduk di atas timbunan
bangkai, tertawa minum darah, dan menghadap korban manusia yang
menebarkan bau busuk. Akan tetapi, semua ini bagi Adityawarman sangat
semerbak baunya.[10]
Demikianlah
kegelapan peradaban Jawa sebelum zaman Islam. Sulit dibayangkan betapa
besar tantangan yang dihadapi oleh Wali Songo ketika menyebarkan Islam
di tanah Jawa. Mereka harus menyadarkan para pengikut Bhairawa Tantra.
Melalui proses yang lama dan tidak mudah, ajaran sekte ini akhirnya
ditinggalkan orang. Sisa-sisa ajaran Bhairawa Tantra memang masih bisa
ditemukan pada sebagian individu. Sekadar contoh, ketika terjadi gempa
vulkanik pada 2006 di lereng Merapi, masyarakat di dusun Pedut Cepogo
masih ada yang menyembelih kambing dan kepalanya ditanam di perempatan
jalan. Namun, menurut Kyai Sholihin, ketika terjadi bencana pada 2010
ini, masyarakat sudah meninggalkan tradisi tersebut dan berlindung ke
masjid. Hingga kini, Islamisasi di lereng Merapi terus berjalan meski
harus berhadapan dengan Kristenisasi dan nativisasi.
[2] Sindhunata, Petruk Jadi Guru: Manusia dan Kebatinan, (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 174-175.
[3] R. Pitono Hardjowardojo, Adityawarman; Sebuah Studi Tentang Tokoh Nasional dari Abad XIV, (Jakarta: Bhratara, 1966), hlm. 25.
[4] H.M. Rasjidi, Islam dan Kebatinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 100.
[5] Paul Michel Munoz, Kerajaan-Kerajaan
Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia; Perkembangan Sejarah
dan Budaya Asia Tenggara (Jaman Prasejarah—Abad XVI), (Yogyakarta: Mitra Abadi, 2009), hlm. 84.
[6] S. Wojowasito, Sedjarah Kebudajaan Indonesia, Jilid II, (Jakarta: Siliwangi, 1952), hlm. 148. Lihat juga R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 34.
[7] Lihat R. Pitono Hardjowardojo, ibid, hlm. 26. Lihat juga Arif Wibowo, Kisah Batu Yang Menangis, di
[8] Paul Michel Munoz, ibid, hlm. 172.
[9] R. Soekmono, ibid, hlm. 66.
[10] W.F. Stutterheim, Cultuur Geschiedenis van Indonesië; Het Hinduïsme in De Archipel, Jilid 2, (Jakarta: J.B. Wolters-Groningen, 1951), hlm. 136.
2 Responses to "JEJAK BHAIRAWA TANTRA DI LERENG MERAPI"
Sptnya saya kenal ini gaya tulisan siapa...
NGAWUR
Post a Comment