Memperjelas Posisi Hamka soal Pluralisme Agama
Belum
lama, pada 20 Maret 2012, salah satu peneliti INSISTS, Akmal Syafril,
ST., M.Pd.I., menerbitkan bukunya yang berjudul Buya Hamka: Antara
Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme. Buku ini sebenarnya merupakan Tesis
Master Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor. Penerbitan
buku ini sangat penting untuk menjernihkan dan mempertegas pemikiran
Buya Hamka tentang Pluralisme Agama.
Menurut penulisya, pada awalnya
penulisan buku ini bersumber dari sebuah makalah yang dibuatnya saat
sedang mengikuti studi di Program Pascasarjana Pendidikan Islam
Universitas Ibn Khaldun (UIKA), Bogor. Isinya mengulas sebuah artikel
karya Ahmad Syafii Maarif yang dimuat di Rubrik Resonansi, surat kabar
Republika, edisi 21 November 2006, yang diberi judul “Hamka Tentang Ayat
62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah”.
Sebagian besar isinya adalah
kutipan-kutipan dari Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka. Di bagian
awalnya, Syafii Maarif menjelaskan alasan di balik penelitiannya
terhadap kedua ayat ini: “Pada suatu hari bulan November 2006 datanglah
sebuah pesan singkat dari seorang jenderal polisi yang sedang bertugas
di Poso menanyakan tentang maksud ayat 62 surat al-Baqarah. Kata
jenderal ini pengertian ayat ini penting baginya untuk menghadapi
beberapa tersangka kerusuhan yang ditangkap di sana.”
Di
antara berbagai kutipan Tafsir Al Azhar dari artikel tersebut, inilah
salah satunya yang nampaknya paling penting: “Inilah janjian yang adil
dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana
mereka hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun
mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan,
sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu.”
Setelah
menjelaskan bahwa Hamka menolak pendapat yang menyatakan bahwa ayat
ke-62 dalam Surah al-Baqarah telah di¬-nasakh oleh ayat ke-85 dalam
Surah Ali ‘Imran, Syafii Maarif pun memungkas artikelnya dengan opini
berikut: “Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69
al-Maidah telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat Ali ‘Imran adalah
sebuah keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman
untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling
menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing. Sepengetahuan
saya tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat
toleransi seperti yang diajarkan Alquran. Pemaksaan dalam agama adalah
sikap yang anti Alquran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99).”
Memang,
setelah keluarnya tulisan Syafii Maarif tersebut, terjadi perdebatan
yang cukup seru di Rubrik Opini Harian Republika. Saya pun segera
menulis artikel yang menjawab aertikel Syafii Maarif tersebut. Intinya,
saya menegaskan, bahwa Buya Hamka sama sekali bukan seorang Pluralis
Agama. Perlu dicatat, bahwa Pluralisme Agama, dalam CAP ini adalah
paham yang menyatakan bahwa semua agama merupakan jalan yang sah
menuju inti realitas keagamaan. Dalam Pluralisme agama, tidak ada satu
agama yang merasa superior dibanding yang lain. Tapi, setiap agama
dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah menuju kebenaran dan Tuhan
(In pluralism, no one religion is superior to any other; each and every
religion is equally valid way to truth and God). (Alister E. Mcgrath,
Christian Theology: an Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher,
1994).
Menurut Akmal, dalam makalahnya,
ia
mengaku menemukan beberapa kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh
Syafii Maarif dalam pengutipan Tafsir Al Azhar tersebut, terlepas dari
ada-tidaknya unsur kesengajaan.
Kesalahan pertama
Adalah
perihal penggunaan kedua ayat tersebut yang jauh dari konteks aslinya.
Syafii Maarif – dan sang Jenderal Polisi yang berkonsultasi dengannya –
menganggap bahwa kedua ayat ini dapat digunakan untuk menanggulangi
konflik horizontal di Poso. Dari paragraf kesimpulan yang ditulis oleh
Syafii Maarif sebelumnya, kita dapat memahami bahwa konflik horizontal
yang dimaksud adalah konflik antar umat beragama. Karena digali dari
al-Qur’an, maka dapat dipahami pula bahwa penelaahan ini digunakan untuk
meredam keinginan sementara pihak di kalangan umat Muslim untuk
melakukan kekerasan pada umat lain.
Padahal,
tegas Akmal, jika Tafsir Al Azhar dibaca secara runut, akan ditemukan
asbabun nuzul dari ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah itu, yakni untuk
menjawab pertanyaan Salman al-Farisi r.a. seputar orang-orang saleh
yang dijumpainya di masa lampau, sedangkan orang-orang tersebut
beragama Nasrani, Yahudi dan lain-lain. Kesalahan kontekstual ini akan
terlihat jelas kemudian.
Kesalahan kedua
Disebabkan
oleh kelengahan Syafii Maarif untuk melacak penjelasan nama-nama agama
“Yahudi”, “Nasrani” dan “Shabi’in” dalam Tafsir Al Azhar. Padahal,
Buya Hamka sudah menjelaskan masalah ini. Menurut Hamka, “Yahudi”
(berasal dari nama Yehuda, salah satu anak Nabi Ya’qub as) pada
hakikatnya adalah agama-keluarga, “Nasrani” (berasal dari nama
Nashirah, yaitu daerah kelahiran Nabi ‘Isa as) pada hakikatnya adalah
agama-bangsa, dan “Shabi’in” adalah nama yang diberikan bagi orang yang
keluar dari agama nenek moyangnya, sehingga Nabi Muhammad saw pun
pernah disebut sebagai shabi’.
Dengan
definisi tersebut, maka orang yang terlanjur dikenal sebagai Yahudi,
Nasrani dan Shabi’in di masa lampau (yaitu sebelum masa kenabian
Rasulullah saw) bisa beriman dan tak beriman. Contoh yang dapat diambil
adalah Pendeta Bahira. Sejarah mengenalnya sebagai tokoh yang pertama
kali membenarkan kenabian Muhammad saw berdasarkan tanda-tanda yang
diketahuinya dari Injil, dan oleh karena itu, ia dikategorikan sebagai
orang yang beriman.
Meski
demikian, Bahira tetaplah dikenal sebagai penganut agama Nasrani,
karena memang ia tidak sempat mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. Tentu
saja, Bahira dapat dianggap sebagai Nasrani yang beriman hanya karena
ia hidup pada masa pra-kenabian Rasulullah saw. Jika ia sempat bertemu
dengan dakwah Rasulullah saw, tentu ia harus mengucap syahadatain, dan
hanya dengan cara itulah ia bisa dianggap sebagai orang yang beriman.
Hal ini akan semakin jelas pada poin berikutnya.
Kesalahan ketiga
Mungkin
yang paling fatal – adalah tidak dicantumkannya sebuah paragraf
penting yang dapat ditemukan di akhir penjelasan ayat ke-62 dalam Surah
al-Baqarah dalam Tafsir Al Azhar yang justru menyimpulkan pendapat Buya
Hamka yang sebenarnya secara utuh. Penjelasannya adalah sebagai
berikut: “Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya
kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah
mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar
menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai,
namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak.”
Umumnya,
kesimpulan dari sebuah uraian ilmiah, termasuk penafsiran al-Qur’an,
dapat dijumpai di bagian akhirnya. “Dengan menyimak betapa pentingnya
penjelasan di atas, kita pun bertanya-tanya mengapa Syafii Maarif justru
memilih untuk meninggalkan penjelasan ini, yang – jika dicantumkan –
akan segera menghapus kesan pluralis dari sosok Buya Hamka dalam artikel
tersebut?” tulis Akmal, yang sebelumnya sudah dikenal sebagai penulis
buku “Islam Liberal 101”. .
Opini
dan kesan bahwa ‘Buya Hamka seorang pluralis’, bagaimana pun, telah
terlanjur bergulir. Hanya berselang enam hari dari dimuatnya artikel
Syafii Maarif tentang Tafsir Al Azhar di surat kabar Republika, Ayang
Utriza NWAY menyampaikan makalahnya dalam acara diskusi publik bertajuk
Islam dan Kemajemukan di Indonesia. Diskusi publik tersebut diadakan
sebagai rangkaian kegiatan dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture di
sebuah Perguruan Tinggi di Banten. Makalah yang dibawakannya berjudul
“Islam dan Pluralisme di Indonesia: Pandangan Sejarah”. Dalam
makalahnya, Ayang bahkan telah melangkah lebih jauh lagi daripada
Syafii Maarif. Setelah mengutip beberapa poin dalam Tafsir Al Azhar –
lagi-lagi untuk QS. al-Baqarah [2]: 62 – Ayang menyimpulkan:
“Ini berarti bahwa walaupun seseorang mengaku beragama Islam, yang hanya bermodalkan dua kalimat syahadat, tetapi tidak pernah menjalankan rukun Islam, maka ia tidak akan pernah mendapat ganjaran dari Allah, yaitu surga. Sebaliknya jika ada non-Muslim yang taat dan patuh menjalankan ajaran agamanya, walaupun tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, maka dia akan mendapatkan ganjaran dari Allah: surga.”
Menurut
Akmal, tidaklah sulit menunjukkan kesalahan (untuk tidak menyebutnya
ketidakjujuran) fatal yang dilakukan oleh Ayang Utriza NWAY. Saya
pribadi (Adian Husaini) juga menemukan tulisan Ayang Utriza yang
menfitnah Buya Hamka dalam buku Bayang-bayang Fanatisisme: Esei-esei
untuk Mengenang Nurcholish Madjid, (Jakarta: Universitas Paramadina,
2007). Kutipan makalah Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina itu dimuat di halaman 307.
Saya
sudah menulis jawaban terhadap tulisan Ayang tersebut untuk buku 100
Tahun Buya Hamka. Bahkan, saat bertemu keluarga Hamka, saya sampaikan
keprihatinan saya tentang tulisan-tulisan yang menfitnah Buya Hamka.
Akan tetapi, meskipun artikel dan makalah sudah kita tulis di berbagai
media massa, tetap saja pendapat yang mengutip tulisan Buya Hamka
secara tidak proporsional juga terus berkeliaran. Bahkan, hingga kini,
tak ada koreksi terhadap kekeliruan yang sudah dilakukan.
Dalam
kaitan itulah, hadirnya buku Akmal ini menjadi penting. Fungsinya,
untuk memperjelas posisi Hamka dalam soal Pluralisme Agama dan
membentengi upaya orang-orang yang mengutip tulisan Hamka secara tidak
proporsional atau bahkan memuarbalikkan makna tulisan Hamka yang
sebenarnya. Menurut Akmal, itulah yang mendasarinya mengembangkan
makalahnya menjadi sebuah Tesis dengan judul Studi Komparatif Antara
Pluralisme Agama dengan Konsep Hubungan Antar Umat Beragama dalam
Pemikiran Hamka. Sesuai dengan judulnya, tesis ini tidak hanya membahas
kontroversi dari artikel Syafii Maarif dan makalah Ayang Utriza NWAY
belaka, melainkan mengupas tuntas jawaban dari sebuah pertanyaan besar:
apakah Buya Hamka memang seorang pluralis? Buku Buya Hamka: Antara
Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme merupakan hasil adaptasi dari tesis
tersebut.
Persoalan
paling fundamental yang pasti muncul ketika membahas pluralisme,
sebagaimana dijelaskan oleh Anis Malik Thoha dalam bukunya Tren
Pluralisme Agama, adalah mendefinisikan makna ‘pluralisme’ itu sendiri.
Masing-masing pihak yang mengusung pluralisme memiliki konsepnya
sendiri-sendiri, bahkan tidak jarang orang menulis sebuah makalah atau
buku tentang pluralisme tanpa pernah memberikan definisi pluralisme itu.
Oleh karena itu, buku ini pun menguraikan secara mendalam persoalan
definisi pluralisme, sejarah pluralisme dan tren-tren pluralisme yang
ada. Hal-hal ini dijabarkan di dalam bab ketiga.
Setelah
menjelaskan tren-tren tersebut, bab keempat dalam buku ini menguraikan
argumen-argumen yang digunakan oleh kaum pluralis dari kalangan
Muslim, terutama dengan bersandar pada sejumlah ayat al-Qur’an.
Pembahasan ini cukup penting, selain karena posisi sentral al-Qur’an
dalam ajaran Islam, juga karena tokoh yang pemikirannya sedang dibahas –
yaitu Buya Hamka – adalah seorang mufassir. Dengan memperbandingkan
penafsiran Hamka dengan penjelasan ayat-ayat tersebut oleh kaum
pluralis Muslim, kita bisa mendapatkan gambaran yang jelas mengenai
persamaan dan/atau perbedaan cara berpikir keduanya.
Karena
pada masa hidup Buya Hamka dahulu istilah “pluralisme” belum dikenal,
maka penulis buku ini merasa perlu menguraikan konsep hubungan antar
umat beragama menurut Hamka ke dalam beberapa poin penting. Poin-poin
ini merupakan hal-hal yang sangat fundamental dalam gagasan pluralisme,
misalnya konsep agama, posisi Islam di antara agama-agama lainnya,
pandangan seputar aliran-aliran yang menyimpang, pengejawantahan
toleransi beragama, dan sebagainya.
Sebagai
contoh, seorang pluralis pasti menganggap Islam sejajar dan tidak
lebih unggul daripada agama lainnya. Siapa pun yang berpikiran seperi
itu, maka ia memang seorang pluralis. Tetapi Hamka tidak berpikiran
seperti itu. Referensi yang telah ditinggalkan oleh Hamka begitu
berlimpah, sehingga usaha pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
semacam ini tidaklah sulit untuk dilakukan.
Walhasil,
di tengah carut-marutnya pemikiran di Indonesia dewasa ini, buku Buya
Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme karya Saudara Akmal ini
cukup memberikan penjelasan tuntas seputar kesemrawutan konsep
pluralisme. Karya ini diharapkan mampu merangsang kembali minat para
pemuda Muslim untuk menggali kembali warisan intelektual dari Buya
Hamka, dan juga dari para cendekiawan Muslim terdahulu lainnya. “Adapun
seputar ‘klaim pluralisme’ terhadap pribadi Hamka, insya Allah mereka
yang sudah tuntas membaca buku ini tidak akan memiliki keraguan lagi,”
tulis Akmal yang menyelesaikan sarjana S-1 nya di bidang civil
engineering di Institut Teknologi Bandung.
0 Response to "Memperjelas Posisi Hamka soal Pluralisme Agama"
Post a Comment