Jangan Fitnah Mbah Petruk!!! Mengungkap Jatidiri Pamomong Gunung Merapi
Tentu saja tanggapan atas mitos Mbah Petruk cukup
beragam. Jika ilmuwan vulkanologi menyatakan awan mirip Petruk tidak
berarti apa-apa, Ponimin (50) yang disebut-sebut “sakti” seperti Mbah
Maridjan, punya penafsiran sendiri. Menurutnya, hidung Petruk yang
menghadap Yogyakarta mengandung arti Merapi mengincar Yogyakarta.
(detiknews,13/11/2010). Permadi, seorang paranormal, dalam sebuah
infotainmen “Silet” di sebuah televisi siaran swasta nasional memiliki
pendapat yang hampir serupa dengan Ponimin. Lain lagi dengan Sultan
Hamengkubuwana, Gubernur Yogyakarta saat ditemui di Kepatihan
(2/11/2010) mengungkapkan: “ Itu kan kata mereka. Kalau aku bilang itu
Bagong, bagaimana? Atau itu Pinokio, karena hidungnya panjang”.
(Tempointeraktif.com, 2/11/2010). Spekulasi terus bermunculan akibat
photo ini. Belum lagi juga muncul photo lain dari asap Merapi yang
membentuk tulisan Arabic “Allah”.
SIAPAKAH MBAH PETRUK ?
Tidak diragukan bahwa nama Mbah Petruk telah menjadi
sebuah mitos yang tidak terpisah dari warga yang mendiami wilayah
sekitar Gunung Merapi. Tokoh ini sering dikaitkan sebagai penguasa gaib
Merapi yang “bertanggungjawab” terhadap dunia “gaib” Merapi. Cerita
tentang “kekuasaan” Mbah Petruk” ini secara umum berkembang di sekitar
lereng Merapi terutama di wilayah yang masuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
Masyarakat Cepogo dan Selo yang menjadi “basis kerja” Mbah Petruk pada
“masa lalu” justru memiliki versi yang cenderung berbeda.
Berdasarkan cerita Versi warga Cepogo bagian atas, nama asli Mbah Petruk sebenarnya adalah Kyai Handoko Kusumo.
Kyai Handoko ini merupakan penyebar Islam di Merapi pada sekitar era
1700-an. Wilayah geraknya lebih banyak meliputi Cepogo bagian atas dan
tidak menutup kemungkinan juga di wilayah yang lain. Dalam cerita tutur
digambarkan bahwa ia memiliki bentuk badan yang agak bungkuk. Kyai
Handoko Kusumo adalah seorang keturunan Arab. Bentuk hidungnya yang
lebih mancung dari kebanyakan orang Jawa itulah yang membuat dirinya
dikenal dengan nama Mbah Petruk oleh Masyarakat setempat. Petruk dalam
mitologi Jawa merupakan tokoh wayang punakawan yang memiliki bentuk
hidung sangat mancung. Meskipun demikian menghubungkan Mbah Petruk
dengan tokoh pewayangan Petruk jelas merupakan sebuah kekeliruan.
Mbah Petruk ini adalah seorang ulama yang
dimungkinkan merupakan murid generasi kedua dari Sunan Kalijaga. Sebagai
seorang ulama ia memiliki level setingkat ulama lain yang semasa dengan
kehidupannya seperti Mbah Ragasari yang dimakamkan di Tumang dan juga
dai yang lain bernama Hasan Munadi. Juru kunci Merapi pada era Mbah
Petruk ini bernama Kyai Rohmadi, seorang muslim pula, yang oleh penduduk setempat dikenal dengan nama Mpu Permadi.
Hanya saja agak berbeda dengan Mbah Petruk, Mpu Permadi memiliki gaya
keislaman yang lebih dekat dengan dunia klenik, terutama pengamalan
terhadap kitab Mujarobat (semacam primbon). Mpu Permadi ini nampaknya
telah terpengaruh dengan mistisme Persia yang bersumber dari kitab Syamsul Ma’arif Kubro
yaitu sebuah kitab yang menggabungkan dunia perdukunan Persia dan
mistisme Syiah. Kitab ini boleh dikatakan sebagai sumber dari hampir
semua kitab Mujarobat yang banyak beredar di masyarakat. Isinya berupa
kumpulan mantra, penggunaan azimat, wifiq, dan lain sebagainya. Makam Mpu Permadi dapat ditemui di Watu Bolong.
Dalam versi masyarakat Selo, Mbah Petruk seringkali
disebut-sebut sebagai anak seorang pejabat atau versi lain Wedana. Pada
era ini Selo merupakan wilayah dari kawedanan Ampel yang membawahi
Ampel, Cepogo, Paras, dan Selo. Versi ini tidak bertentangan dengan
versi cerita cerita warga Cepogo. Hal ini tidak mengherankan, sebab
salah satu fenomena penyebaran Islam adalah melalui perkawinan, termasuk
membangun kedekatan dengan menikahi putri-putri penguasa setempat.
Namun demikian secara umum, masyarakat sekitar Merapi telah mafhum bahwa
Mbah Petruk merupakan salah seorang penyebar agama Islam di sekitar
daerah itu. Pada masa tuanya, Mbah Petruk diperkirakan meninggal di
Gunung Bibi dan jasadnya tidak pernah diketahui. Hal inilah yang
memunculkan anggapan spekulatif bahwa dirinya telah moksa.
Perlu diketahui Gunung Bibi sampai hari ini masih merupakan kawasan
“berbahaya” karena masih dihuni hewan-hewan liar termasuk oleh ular-ular
python raksasa. Tidak mengherankan jika penduduk sekitarnya selalu
menahan KTP para pendaki yang hendak naik ke Gunung Bibi, alasannya agar
bisa segera memberitahu keluarganya bila pendatang yang bersangkutan
tidak kembali turun dari gunung. Fenomena ini bisa saja menjelaskan hal
tersebut disamping adanya kemungkinan lain yang logis.
TANTANGAN DAKWAH MBAH PETRUK
Sesuai dengan pendapat Karel Steenbrink, sampai
sekitar tahun 1700-an, daerah di sekitar Merapi masih merupakan kawasan
yang penduduknya menganut Agama Hindhu. Namun catatan yang lain
menyebutkan bahwa pada era Perang Jawa (1825-1830), ulama dan sekaligus
penasihat spiritual Pangeran Diponegoro yang bernama Kyai Mojo telah
memobilisasi pasukan yang berasal dari lereng Merapi. Hal ini
menunjukkan bahwa proses Islamisasi di kawasan ini telah berjalan.
Pada era awal dakwah di lereng Merapi, tantangannya
tidaklah mudah. Aliran yang berkembang di lereng Merapi pada masa ini
menunjukkan adanya sinkretisme antara agama Kapitayan dan
aliran Bhairawa Tantra. Di Jawa aliran ini memang telah menyatu dengan
mantra-mantra Jawa Kuno dan kepercayaan terhadap para tukang tenung.
Penobatan raja-raja Jawa dilakukan melalui percampuran ritual tantra
disertai dengan berbagai sihir dan ajaran rahasia. (Prijohutomo, II,
11953: 105).
Agama Kapitayan adalah keyakinan masyarakat Jawa
sebelum proses Indianisasi yang meliputi perkembangan agama Hindhu dan
Budha. Ajarannya yang hanya mengenal satu Tuhan memiliki sejumlah
kemiripan dengan monotheisme. Ritualnya adalah menyembah Hyang Taya yaitu pencipta alam semesta yang memiliki sifat tan kinaya ngapa (tidak dapat diperkirakan oleh akal pikiran manusia). Ibadahnya disebut sembahyang
dilakukan sebanyak 3 waktu dalam sehari yaitu saat matahari terbit,
matahari diatas kepala, dan matahari terbenam. Kepercayaan ini memiliki
tempat peribadatan yang bangunan berbentuk segi empat bernama langgar.
Untuk memasuki langgar seorang penganut Kapitayan harus dalam keadaan
bersih dan melepas alas kaki yang dikenakannya. Dalam Kapitayan sendiri
terdapat dua cara pandang yang saling berbeda yaitu Tu dan To. Penganut pandangan Tu
melakukan ritual agamanya dengan tanpa perantaraan (tawasul). Mereka
menyembah penciptanya dengan mengandalkan ketaatan diri kepada pencipta
dan tanpa membutuhkan wujud materi yang digunakan untuk sesaji.
Sedangkan penganut pandangan To membutuhkan persembahan berupa sesaji
dalam rangkaian peribadatannya. Dalam mitologi pewayangan Jawa karakter
berpandangan Tu diejawantahkan dengan Semar Badranaya yang
menjadi pamomong para satriya berwatak mulia. Sedangkan karakter To
dengan disimbolkan dengan tokoh Togog yang menjadi pamomong para bhuta dan danawa yang berwatak candala.
Sedangkan Bhairawa Tantra merupakan bentuk
sinkretisme dari Siwa-Budha. Awalnya keyakinan ini hanya berkembang di
elit politis Keraton Jawa saja dan berfungsi untuk menjaga kewibawaan
penguasa. Cara pandang utama dari aliran ini adalah dengan
memperturutkan hawa nafsu maka kecenderungan jiwa pada akhirnya akan
lebih mudah diarahkan untuk menjauhi nafsu-nafsu tersebut. Menurut
ajaran ini, orang hendaknya jangan menahan nafsu, bahkan sebaiknya
manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan
nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Prijohutomo, I, 1953: 89).
Bentuk ritualnya meliputi apa yang dikenal dengan sebutan ma-lima atau pancamakara. Ritual Ma-lima tersebut terdiri dari matsiya (ikan), mamsa (daging), madya (minuman keras), mudra (ekstase melalui tarian yang terkadang bersifat erotis atau melibatkan makhluk halus hingga “kerasukan”), dan maithuna (seks
bebas). (Rasjidi, 1967: 68; Soekmono, 1988: 33-34). Dalam bentuk yang
paling esoterik, pemujaan yang bersifat Tantrik memang memerlukan
persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa
meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Munoz, 2009: 253, 448).
Juga ritual seks bebas dan minum minuman keras yang dilakukan ditempat
peribadatan berupa lapangan (padang) bernama Lemah Citra atau Setra. Ritual tersebut dilakukan untuk mendapatkan cakti. Oleh karena itu aliran ini juga sering disebut sebagai saktiisme. Pada era selanjutnya dapat dijumpai sisa-sisanya dalam apa yang disebut dengan istilah kasekten. (Koentjoroningrat, 2007:347).
Proses Indianisasi di Pulau Jawa dengan produk berupa
Hindhuisme dan Budhisme memang memberi nilai tambah dalam bidang teknis
seperti arsitektur dan seni, namun bersifat destruktif terhadap
keyakinan awal masyarakat Jawa yang telah monotheis. Kasus serupa juga
terjadi di Sunda, Kidung Jatiniskala telah menunjukkan bahwa
masyarakat Sunda Kuno telah memiliki kecenderungan kepada kepercayaan
terhadap Sang Pencipta yang mirip konsepsi Tauhid dalam Islam. Belum
lagi jika kita mau meneliti lebih lanjut terhadap Agama Sunda Wiwitan.
Salah satu wujud ritual yang terpengaruh oleh pembauran antara Agama Kapitayan yang bersifat To
dan Bhairawatantra yang dijalankan di Merapi adalah pengorbanan manusia
untuk menolak mara bahaya dan bencana. Pengorbanan ini dilakukan dengan
menceburkan manusia ke dalam kawah Merapi. Bentuk pengorbanan dengan
menggunakan manusia ini sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran
Bhairawatantra yang merupakan sinkretisme antara Hindhu dan Budha ini.
Bentuk pengorbanan yang hampir sama masih kita jumpai dalam tradisi
tutur yang berkembang di sekitar Gunung Bromo. Di Gunung Bromo juga
terdapat tradisi mempersembahkan hasil bumi ke kawah Bromo yang
merupakan perkembangan dari ritual ini. Berdasarkan tradisi tutur pula
dapat diketahui bahwa penduduk Gunung Bromo sebenarnya merupakan
pelarian dari Majapahit, sebuah kerajaan Jawa Hindhu-Budha yang bercorak
Bhairawatantra.
Pada era dakwah Mbah Petruk bentuk pengorbanan ini
mulai diperhalus dengan menggantinya dengan kepala kerbau. Kepala kerbau
tersebut di tanam di Pasar Bubrah yang merupakan puncak Gunung Merapi
Purba dan juga dimasukkan ke kawah Merapi. Tentu saja proses subsitusi
korban manusia dengan kepala kerbau ini bukan sebuah jalan yang mudah.
Butuh pendekatan yang luar biasa untuk jaman dimana tradisi masyarakat
masih dipengaruhi oleh pengruh yang kuat dari Hindhu Budha. Namun
pembelokan melalui natifisasi telah membelokkan perkembangan ini
sehingga proses dakwah yang seharusnya berjalan justru berjalan stagnan
dan generasi selanjutnya kehilangan sisi periwayatan ini.
Praktik mistik yang lain yang masih eksis di lereng
Merapi adalah ritual telanjang yang dilakukan di Candi Lumbung pada
setiap awal bulan Suro. Ritus ini dilakukan tengah malam selepas pukul
00.00 WIB dengan bertelanjang bulat mengelilingi Candi Lumbung sambil
membaca mantra-mantra khusus di bawah panduan seorang pemimpin upacara.
(Liberty, 11-20/1/2008: 67). Ritual ini juga masih memiliki kemiripan
sebagai sisa ritual Bhairawa Tantra. Di daerah sekitar Merapi
bekas-bekas setra (tempat pengorbanan manusia dan area
persetubuhan masal dalam ritus bairawa) yang lain juga dapat ditemukan.
Sampai sekitar tahun 2006, tempat pemujaan berupa Setra masih
dapat ditemui di Bon Bimo. Namun di tempat petilasan itu saat ini telah
didirikan sebuah masjid oleh masyarakat setempat. Cerita yang beredar di
masyarakat saat tempat itu hendak didirikan masjid, batu yang menjadi
“altar” penyembelihan gadis perawan di Bon Bimo tersebut pada waktu
malam mengeluarkan suara tangisan yang bisa didengarkan hampir oleh
setiap penduduk sekitarnya. Namun masyarakat telah memilih Islam dan
sebuah masjid berdiri atas kehendak warga desa di tempat itu.
KAPITALISASI INDUSTRI PARIWISATA
Tradisi seperti penanaman kepala kerbau atau binatang
ternak lain ini sebenarnya sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat
seiring dengan perkembangan dakwah Islam. Perhelatan ritual ini saat ini
hanya dilakukan oleh sebagian orang dan tidak jarang atas sponsor
Pemerintah Daerah dengan motif “memeras kocek” wisatawan. Kyai Muhammad
Solikhin, peneliti dan pamomong masyarakat Desa Pedut, Cepogo misalnya
mencontohkan bahwa pada saat gempa 2006, masyarakat di desanya masih
melakukan penyembelihan Kambing dan kepalanya ditanam di sejumlah
perempatan desa. Namun dalam gempa tahun 2010 ini tradisi bersifat
bairawi tersebut telah ditinggalkan. Ketika terjadi gempa, masyarakat
lantas berlindung ke masjid. Nampaknya mitos keliru tentang Mbah Petruk
dan ritual yang mengikutinya memang sengaja hendak dipelihara dan
dilestarikan demi sebuah kepentingan.
Dengan berlindung dibalik slogan “kearifan lokal”
pemerintah daerah setempat berupaya mengkomersialisasikan ritual yang
sebenarnya mulai ditinggalkan tersebut. Dalam cara pandang ini
kebudayaan dianggap sebagai sebuah bentuk stagnasi sebuah periode
sejarah. Kebudayaan ditempatkan sebagai obyek mati yang tidak bersifat
dinamis dalam merespon perkembangan kebudayaan manusia. Komersialisasi
demikian hakikatnya adalah pengembangan budaya bertopeng kapitalisme
yang bergerak sebagai “monster” dalam ranah penghancuran kearifan lokal
sebenarnya. Di satu sisi mampu meningkatkan pendapatan daerah dan
masyarakat, namun juga mengorbankan aspek moralitas dan mentalitas
manusia yang menjadi modal utama menjalani kehidupan dalam sebuah
tuntunan baik. Isu “kearifan lokal” bukan berarti mengangkat “kebudayaan
asli” melainkan menempatkan kebudayaan pada sebuah pemberhentian sampai
mengalami titik jenuh. Pandangan yang digunakan bukan lagi menggunakan
gaya ketimuran, melainkan berdasarkan paham yang diimpor dari kacamata
materialisme Barat dalam melihat timur. Padahal cara pandang ini
sebenarnya sangat aneh sebab merupakan cara pandang lama yang telah
banyak ditinggalkan. Anehnya, pola ini malah diamalkan diIndonesia pada
hari ini. Van Peursen, pakar strategi kebudayaan, menyebutkan cara
pandang terhadap kebudayaan hari ini telah bergeser, dimana setiap orang
merupakan kekuatan pembentuk kebudayaan. (Van Peursen, 1976:12).
Terkait Mbah Petruk, sudah saatnya umat Islam
melanjutkan perjuangannya yang belum selesai dan menanti sentuhan
berkelanjutan. Dakwah adalah sebuah amanah dari risalah kenabian yang
dibebankan pada pundak kita. Jadi, demi kepentingan apa pun, jangan
pernah memfitnah Mbah Petruk. Selamat berjuang. Wallahu a’lam.
(Makalah ini disusun berdasarkan investigasi
terhadap tradisi lesan yang berkembang dalam masyarakat Selo dan Cepogo
dimana Mbah Petruk merupakan ulama yang paling banyak beraktivitas di
kedua tempat ini dibandingkan di wilayah lain di sekitar lereng Merapi.
Investigasi ini melibatkan tokoh masyarakat setempat diantaranya adalah
Kyai Muhammad Solikhin, “pamomong” masyarakat Pedhut, Cepogo yang juga
merupakan seorang peneliti dan penulis buku yang cukup produktif tentang
kebudayaan Jawa).
Penulis: Susiyanto
(Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) & Mahasiswa Pasca Sarjana Peradaban Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Dipublikasikan ulang seizin penulis dari www.susiyanto.wordpress.com
Dipublikasikan ulang seizin penulis dari www.susiyanto.wordpress.com
Sumber bahan yang mendampingi penulisan ini antara lain:
-
Ayatrohaedi dan Sri Saadah. Jatiniskala: Kehidupan Kerohanian Masyarakat Sunda Sebelum Islam. (Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Pusat, Direktorat Sejatah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995)
-
Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953)
-
Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia II: Kebudajaan Hindu di Indonesia. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953)
-
Drs. R. Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Cetakan V. (Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1988)
-
H. M. Danuwiyoto, B.A. Seluk Beluk Aliran Kebatinan. (Jawatan Urusan Agama Propinsi Jawa Tengah, Semarang, 1970)
-
Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006)
-
Prof. Dr. H. M. Rasjidi, Drs. Warsito, dan Drs. H. Hasbullah Bakry, SH. Di Sekitar Kebatinan. (Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1973)
-
Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Faham Tentang Islam dalam Kesusasteraan Jawa. (Perguruan Tinggi Agama Islam, Yogyakarta, 1955)
-
Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Islam dan Kebatinan. (Jajasan Islam Studi Club Indonesia, Jakarta, 1967)
-
Prof. Dr. Koentjoroningrat (ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan XXI. (Penerbit Djambatan, Jakarta, 2010)
-
Van Peursen. Strategi Kebudayaan. (Penerbitan Kanisius, Yogyakarta, 1976)
-
Zoetmulder. Manunggaling Kawula-Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. (Gramedia, Jakarta, 1980)
-
Majalah Liberty. Edisi 2328 tanggal 11-20 januari 2008
0 Response to "Jangan Fitnah Mbah Petruk!!! Mengungkap Jatidiri Pamomong Gunung Merapi"
Post a Comment