Pengertian Al-qur'an dan periode turunnya Al-qur'an
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslimin dan menjadi sumber ajaran Islam yang pertama dan utama yang harus mereka imani dan aplikasikan dalam kehidupan mereka agar mereka memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Karena itu, tidaklah berlebihan jika selama ini kaum muslimin tidak hanya mempelajari isi dan pesan-pesannya. Tetapi juga telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga otentitasnya. Upaya itu telah mereka laksanakan sejak Nabi Muhammad Saw masih berada di Mekkah dan belum berhijrah ke Madinah hingga saat ini. Dengan kata lain upaya tersebut telah mereka laksanakan sejak al-Qur’an diturunkan hingga saat ini. Mengenai mengerti asbabun nuzul sangat banyak manfaatnya. Karena itu tidak benar orang-orang mengatakan, bahwa mempelajari dan memahami sebab-sebab turun al-Qur’an itu tidak berguna, dengan alasan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an itu telah masuk dalam ruang lingkup sejarah. Di antara manfaatnya yang praktis ialah menghilangkan kesulitan dalam memberikan arti ayat-ayat al-Qur’an.
Imam al-Wahidi menyatakan; tidak mungkin orang mengerti tafsir
suatu ayat, kalau tidak mengetahui ceritera yang berhubungan dengan ayat-ayat
itu, tegasnya untuk mengetahui tafsir yang terkandung dalam ayat itu harus mengetahui
sebab-sebab ayat itu diturunkan.
Ulama salaf tatkala terbentur kesulitan dalam memahami ayat,
mereka segera kembali berpegang pedoman asbabun nuzulnya. Dengan cara ini
hilanglah semua kesulitan yang mereka hadapi dalam mempelajari al-Qur’an tentang
“Asbabun Nuzul”.
Dalam
hal ini penulis mencoba menuangkan dalam bentuk makalah yang berjudul “ASBABUN NUZUL” dengan harapan semoga
makalah ini dapat menambah keimanan dan keilmuan kita baik di dunia maupun di
akhirat kelak. Amien.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Al-Qur’an Menurut Bahasa
Al-Qur’an Menurut Bahasa
Di
kalangan para ulama dan pakar bahasa Arab tidak ada kesepakatan tentang ucapan,
asal pengambilan dan arti kata al-Qur’an. Di
antara mereka berpendapat bahwa kata al-Qur’an itu harus diucapkan tanpa huruf
hamzah. Termasuk mereka yang berpendapat demikian adalah al-Syafi’i al-Farra dan
al-Asy’ari. Para pakar lain berpendapat bahwa kata al-Qur’an tersebut harus
diucapkan dengan memakai huruf hamzah. Termasuk mereka yang berpendapat seperti
ini adalah al-Zajjaj dan
al-Lihyani.
B. Definisi
Al-Qur’an
Kalau berkenaan dengan al-Qur’an menurut bahasa, para ulama
telah berbeda pendapat, demikian pula sikap mereka dalam memberikan
definisinya. Misalnya, Prof. DR. Syekh mahmud Syaitut mendifinisikan al-Qur’an
dengan:
اللفظ العربي المنزل على نبينا محمد صلى الله عليه وسلم المنقول
إلينا بالتواتر
Artinya: “Lafaz Arab yang diturunkan kepada nabi
Muhammad Saw dan disampaikan kepada kita secara mutawatir.”
Al-Qur’an juga mengandung sebab-sebab diturunkannya suatu ayat
yang dikenal dengan istilah “Asbabun Nuzul”. Tetapi dalam keseluruhan isi
al-Qur’an, tidak semuanya ada ayat yang mengandung asbabun nuzul, hanya
sebagian ayat saja.
C. Pengertian
Asbabun Nuzul
Secara
etimologis, asbabun nuzul ayat itu berarti sebab-sebab turun ayat. alam
pengertian sederhana turunnya suatu ayat disebabkan oleh suatu peristiwa,
sehingga tanpa adanya peristiwa itu, ayat tersebut itu tidak turun. Sedangkan menurut Subhi Shalih misalnya menta’rifkan (ma’na)
sababun nuzul ialah:
ما نزلة الأية او الآيات بسببه متضمنة له أو مجيبة عنه أو مبينة
لحكمه زمن وقوعه.
“Sesuatu yang dengan sebabnyalah turun sesuatu ayat atau
beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban tentang sebab
itu, atau menerangkan hukumnya; pada masa terjadinya peristiwa itu.”
Yakni, sesuatu kejadian yang terjadi di zaman Nabi Saw, atau
sesuatu pertanyaan yang dihdapkan kepada Nabi dan turunlah suatu atau beberapa
ayat dari Allah Swt yang berhubungan dengan kejadian itu, atau dengan
penjawaban pertanyaan itu baik peristiwa itu merupakan pertengkaran, ataupun
merupakan kesalahan yang dilakukan maupun merupakan suatu peristiwa atau suatu
keinginan yang baik.
Definisi yang dikemukakan ini dan yang diistilahi, menghendaki
supaya ayat-ayat al-Qur’an, dibagi dua:
1.
Ayat yang ada sebab nuzulnya.
2.
Ayat yang tidak ada sebab nuzulnya.
Memang
demikianlah ayat-ayat al-Qur’an. Ada yang diturunkan tanpa didahului oleh
sesuatu sebab dan ada yang diturunkan sesudah didahului sebab. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari
sebab turun setiap ayat, karena tidak semua ayat al-Qur’an diturunkan. Karena
timbul suatu peristiwa dan kejadian. Oleh
karena itu, tujuan studi al-Qur’an mencakup beberapa permasalahan yang
hendaknya harus dipelajari bukan saja masalah asbabun nuzul. Tetapi juga
mempelajari masalah bagaimana cara membaca al-Qur’an, bagaimana tafsirnya dan
juga tidak kalah penting masalah nasakh dan mansukh,
Pembahasan
dimensi sejarah. Kisah-kisah al-Qur’an ini tidak dimaksudkan untuk mempelajari
makna historis kisah-kisah al-Qur’an. Namun di sini akan mencoba mengungkapkan
nilai historis sejarah turunnya suatu ayat. Ada
perselisihan pendapat di antara ulama tafsir, pada ungkapan sahabat: “Turunnya
ayat ini dalam kasus begini”. Apakah pengertian ini masuk dalam musnad yakni
sesuai bila disebutkan dengan tegas, bahwa turunnya ayat ini berkaitaan erat
dengan kasus tersebut. Jadi
masalah mempelajari turunnya suatu ayat bukan hanya dipahami sebagai doktrin
normatif semata, tetapi juga harus dapat dikembangkan menjadi konsepsi
operatif.
D. Latar Belakang
Turunnya Ayat
Di antara sekian banyak aspek yang banyak memberikan peran dalam
menggali dan memahami makna-makna ayat al-Qur’an ialah mengetahui sebab
turunnya. Oleh karena itu, mengetahui asbabun nuzul menjadi obyek perhatian
para ulama. Bahkan segolongan diantara mereka ada yang mengklarifikasikan dalam
suatu naskah, seperti Ali Al-Maidienie, guru besar imam Bukhari.
Dari
sekian banyak kitab dalam masalah ini, yang paling terkenal ialah: karangan
Al-Wahidie, Ibnu Hajar dan As-Sayuthi. Dan As-Sayuthi telah menyusun dalam
suatu kitab besar dengan judul “Lubaabun
Nuquul fie Asbabin Nuzuul”.
Boleh
dikata, untuk mengetahui secara mendetail tentang aneka
corak ilmu-ilmu al-Qur’an serta pemahamannya, tidak mungkin dicapai
tanpa mengetahui asbabun nuzuul seperti
pada firman Allah :
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat,
maka kemana pun kamu menghadap disitulah wajah Allah”. (Q.S. Al-Baqarah: 115)
Ayat ini kadang kala diartikan, boleh menghadap ke arah mana pun
saja selain kiblat. Pengertian ini jelas salah, sebab di antara syarat sahnya
sembahyang ialah menghadap kiblat.
Akan tetapi dengan mengetahui sebab-sebab turunnya, akan jelas
pengertian ayat ini, di mana ayat ini diturunkan bagi siapa yang sedang di
tengah perjalanan dan tidak tahu mana arah kiblat. Maka ia harus berijtihad dan
menyelidiki, kemudian sembahyang kemana saja ia menghadap, sahlah shalatnya.
Dan tidak diwajibkan kepadanya bersembahyang lagi setelah bersembahyang apabila
ternyata salah.
E. Ilmu Asbabun
Nuzul
Allah
menjadikan segala sesuatu melalui sebab-musabbab dan menurut suatu
ukuran. Tidak seorang pun manusia lahir dan melihat cahaya kehidupan tanpa
melalui sebab-musabbab dan berbagai tahap perkembangan. Tidak sesautu pun
terjadi di dalam wujud ini kecuali setelah melewati pendahuluan dan
perencanaan. Begitu juga perubahan pada cakrawala pemikiran manusia terjadi
setelah melalui persiapan dan pengarahan. Itulah sunnatullah (hukum Allah) yang
berlaku bagi semua ciptaan-Nya, “dan engkau tidak akan menemukan perubahan pada
sunnatullah” (al-Ahzab, 62).
Tidak ada bukti yang menyingkap kebenaran sunnatullah itu selain
sejarah, demikian pula penerapannya dalam kehidupan. Seorang sejarahwan yang
berpandangan tajam dan cermat mengambil kesimpulan, dia tidak akan sampai
kepada fakta sejarah jika tidak mengetahui sebab-musabbab yang mendorong
terjadinya peristiwa.
Tapi
tidak hanya sejarah yang menarik kesimpulan dari rentetan peristiwa yang
mendahuluinya, tapi juga ilmu alam, ilmu sosial dan kesusastraan pun dalam
pemahamanya memerlukan sebab-musabbab yang melahirkannya, di samping tentu saja
pengetahuan tentang prinsip-prinsip serta maksud tujuan.
F. Pedoman
Mengetahui Asbabun Nuzul
Pedoman
dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang
berasal dari Rasulullah Saw atau dari sahabat. Itu disebutkan pemberitahuan
seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan
sekedar pendapat, tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada
Rasulullah. Al-Wahidie mengatakan, “Tidak halal berpendapat mengenai asbabun
Nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung
dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan
membahasnya tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya”.
Al-Wahidie telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka
terhadap riwayat asbabun nuzul. Bahkan ia menuduh mereka pendusta dan
mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan “Sekarang setiap
orang suka mengada-ngada dan berbuat dusta: ia menempatkan kedudukannya dalam
kebodohan, tanpa memikirkan acaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab
turunnya ayat”.
G. Kisah Nuzulnya
Ayat
Menanamkan
sebab turunnya ayat dengan kisah nuzulnya ayat, sungguhlah mengisyaratkan
kepada dzauq yang
tinggi. Sebenarnya, asbabun nuzul tidaklah lain daripada kisah yang dipetik
dari kenyataan dan kejadian, baik mengenai peristiwanya, maupun mengenai
orang-orangnya. Dan kisah nuzul menimbulkan kegemaran untuk membaca kisah itu
di setiap masa dan tempat, serta menghilangkan kejemuan, karena merasakan bahwa
kisah-kisah (kejadian-kejadian itu) seolah baru saja terjadi.
H. Perbedaan
Pendapat Para Ulama Tentang Beberapa Riwayat Mengenai (Asbabun Nuzul)
Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu
ayat. Dalam keadaan demikian, sikap seorang mufasir kepadanya sebagai berikut:
1.
Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: “Ayat ini turun
mengenai urusan ini”, atau “Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini”,
maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi di
antara
riwayat-riwayat itu. Sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran
dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan
darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada karinah atau indikasi pada salah
satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzulnya.
2. Apabila salah satu bentuk
redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “Ayat ini turun mengenai urusan ini”.
Sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda
dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang
menyebutkan sebab nuzul secara tegas; dan riwayat yang lain dipandang termasuk
di dalam hukum ayat. Contohnya ialah riwayat tentang asbabun nuzul.
“istri-istrimu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam,
maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki”. (Q.S. Al-Baqarah, 2 : 223)
Dari
nafi disebutkan “Pada suatu hari aku membaca (istri-istri adalah ibarat tempat
kamu bercocok tanam), maka kata Ibnu Umar: “Tahukah engkau mengenai apa ayat
ini diturunkan?” Aku menjawab: “Tidak”, ia berkata ayat ini turun mengenai
persoalan mendatangi istri dari belakang”.
Bentuk
redaksi riwayat dari Ibnu Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan sebab nuzul.
Sementara itu terdapat riwayat yang sangat tegas menyebutkan sebab nuzul yang
bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui Jabir
dikatakan orang-orang Yahudi berkata: “Apabila seorang laki-laki
mendatangi istrinya dari arah belakang maka anaknya nanti akan bermata juling”,
maka turunlah ayat tersebut”.
Maka Jabir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya
merupakan pernyataan tegas tentang asbabun nuzul. Sedangkan ucapan Ibnu Umar,
tidaklah demikian. Karena itulah ia dipandang sebagai kesimpulan atau
penafsiran.
Diriwayatkan
oleh Ibnu jarir, Abu Ya’la, Ibnu Mardaweh, Bukhari, Ath-Thabrany dalam Al-Ausath bahwa pada masa Nabi Saw
ada seorang laki-laki mendatangi istrinya dari arah belakang, kemudian
orang-orang membencinya. Kemudian turunlah ayat 223 surah al-Baqarah. Dari
beberapa riwayat tersebut jelaslah terdapat beberapa perbedaan tentang turunnya
suatu ayat. Namun apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab
nuzul, sedang salah satu riwayat di antaranya itu shahih, maka yang menjadi
pegangan adalah riwayat yang shahih.
BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
1.
Al-Qur’an merupakan mu’jizat terbesar yang diturunkan Allah Swt
kepada Nabi Muhammad Saw dengan perantaraan Malikat Jibril As. disampaikan
secara mutawatir dan bernilai ibadah bagi yang membacanya baik di dalam shalat
maupun di luar shalat. Al-Qur’an yang memiliki cita-cita para Nabi, dan
menguraikan masalah hukum-hukum dan lain-lain ternyata ayat tersebut memiliki
kekhasan tersendiri, di antaranya:
a. Masalah asbabun nuzul
ayat yaitu sebab-sebab ayat-ayat al-Qur’an diturunkan.
b. Adapun asbabun nuzul mempunyai
ruang lingkup pembahasan yang berkaitan langsung dengan peristiwa diturunkannya
ayat al-Qur’an terutama dalam hubungan peristiwa dan ungkapan kata, baik teks
ayat, maupun redaksi ayat.
1.
Asbabun nuzul juga mengungkapkan ilmu tentang turunnya
ayat-ayat
al-Qur’an dimana para ulama berpedoman langsung kepada riwayat yang shahih yang
berasal dari Nabi Saw atau dari shabat sejak zaman tarikh Islam klasik yang
berisikan kisah-kisah nuzulnya ayat mengenai asbabun nuzulnya suatu ayat
terkadang para ulama telah terjadi perbedaan pendapat, misalnya:
a. Apabila bentuk-bentuk
redaksi ayat itu tidak tegas, seperti “Aku mengira ayat ini turun mengenai
urusan ini” maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi.
b. Apabila salah satu bentuk
redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti “Ayat ini turun mengenai urusan ini”,
sedang riwayat lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan
riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan
sebab nuzul secara tegas, dan riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam
hukum ayat.
c. Para perawi dan kita
sekarang dapat membaca dan meneliti keabsahan berita tentang turunnya ayat-ayat
al-Qur’an itu, dan dengan demikian dapat memahami al-Qur’an dengan baik. Itulah
urgensinya mengetahui asbabun nuzul.
0 Response to " Pengertian Al-qur'an dan periode turunnya Al-qur'an"
Post a Comment